tag:blogger.com,1999:blog-68695015494519921812024-02-20T15:29:32.761-08:00Sejarah Koperasicynthiahttp://www.blogger.com/profile/11233855795492275534noreply@blogger.comBlogger2125tag:blogger.com,1999:blog-6869501549451992181.post-11431925787347072952011-11-05T03:21:00.000-07:002011-11-05T03:23:06.947-07:00TUGAS ETIKA BISNISPENGERTIAN ETIKA<br />Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.<br />Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).<br />Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :<br />1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);<br />2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;<br />3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.<br />Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.<br />K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :<br />1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.<br />Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. <br />2. kumpulan asas atau nilai moral.<br />Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik<br />3. ilmu tentang yang baik atau buruk. <br />Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />ETIKA YANG KITA LAKUKAN SEHARI-HARI<br /> <br />Sifat masing masing setiap individu berbeda-beda tidak ada yang sama. Factor dari cara bicara mereka kepada orang lain bias kita nilai juga. Apa orang tersebut sopa atau tidak cara menyampaikannya, dengan bahasa yang baik atau tidak, lemah lembut atau tidak. Faktor selanjutnya yaitu kegiatan yang dilakukan, baik study nya maupun pekerjaannya. Disamping itu kita juga harus mentaati peraturan-peraturan yang ada serta norma-norma yang diterapkan. Jadi bukan penampilannya saja yang dapat kita nilai, sifat serta karakternya pun juga bias di nilai oleh kita. Kalo kita ingin di hormati dan di hargai orang lain, kita pun juga harus bias menghormati dan menghargai orang lain. Lakukanlah semuanya dengan hati yang tulus. Dan jangan sekali-kali bersifat egois, karena dapat merusak citra dari diri sendiri..<br /><br />Contoh : Menghormati orang yang lebih tua, berbicara sopan santun kepada orang tua dan orang lain, bersikap lemah lembut, dan patuhi norma-norma yang ada di kehidupan kita. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PENGERTIAN ETIKA BISNIS<br /><br /><br />Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi. <br />Beberapa hal yang mendasari perlunya etika dalam kegiatan bisnis: <br />- Selain mempertaruhkan barang dan uang untuk tujuan keuntungan, bisnis juga mempertaruhkan nama, harga diri, bahkan nasib manusia yang terlibat di dalamnya. <br />- Bisnis adalah bagian penting dalam masyarakat. <br />- Bisnis juga membutuhkan etika yang setidaknya mampu memberikan pedoman bagi pihak-pihak yang melakukannya. <br /><br />Bisnis adalah kegiatan yang mengutamakan rasa saling percaya. Dengan saling percaya, kegiatan bisnis akan berkembang baik. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika yang menjamin kegiatan. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah: <br />a. Pengendalian diri <br />Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis". <br /><br />b. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility) <br />Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. <br />c. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi. <br />Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi. <br />d. Menciptakan persaingan yang sehat <br />Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut. <br />e. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan" <br />Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar. <br />f. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi) <br />Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara. <br />g. Mampu menyatakan yang benar itu benar <br />Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait. <br />h. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah <br />Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis. <br />i. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama <br />Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan"gugur" satu semi satu. <br />j. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati <br />Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis. <br />k. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan. <br />Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2020 dapat diatasi. Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft), Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut: <br />1. Suap (Bribery), <br />adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima atau meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah. <br />2. Paksaan (Coercion),<br />adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu. <br />3. Penipuan (Deception), <br />adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan. <br />4. Pencurian (Theft),<br />adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual. <br />5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), <br />adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai' dan tidak. <br /><br />Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis <br /><br />Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?.Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. <br /><br />Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga. Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut: <br />1.Perspektif Makro. <br />Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: <br />(a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; <br />(b) Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; <br />(c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro. <br /><br />Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro : <br />a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan. <br />b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis. <br />c. Deceptive information <br />d. Pecurian dan penggelapan <br />e. Unfair discrimination. <br /><br />2. Perspektif Bisnis Mikro. <br />Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: <br /><br />(1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; <br />(b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: <br />(1) Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social; <br />(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan <br />(3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.<br />Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. <br />Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu- rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. <br />Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PENGERTIAN ETIKA TELEOLOGI<br /><br />Etika Teleologi, berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran, akibat dan hasil. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik dan membawa akibat yang baik dan berguna. <br /> Dari sudup pandang “apa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi dua yaitu:<br />a. Teleologi Hedonisme (hedone= kenikmatan) yaitu tindakan yant bertujuan untukmencari kenikmatan dan kesenangan.<br />b. Teleologi Eudamonisme (eudamonia=kebahagiaan) yaitu tindakan yang bertujuan mencari kebahagiaan hakiki.<br /><br /> Dari sudut pandang “untuk siapa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi dua yaitu:<br />a. Egoisme Etis, yaitu tindakan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinnya sendiri.<br />b. Utilitarianisme, yaitu tindakan yang berguna dan membawa manfaat bagi semua pihak.<br /><br /> Contoh : kewajiban untuk menepati janji<br /><br /><br />PENGERTIAN ETIKA DEONTOLOGI<br /><br /> Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu keharusan.<br /><br />Contoh : kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang lain melalui ucapan dan perbuatan.cynthiahttp://www.blogger.com/profile/11233855795492275534noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6869501549451992181.post-17867236760857150292009-11-22T17:29:00.001-08:002009-11-22T17:43:39.206-08:00Sejarah Koperasi<div class="content"><div style="text-align: center;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: center;">Sejarah Koperasi</p> <p>Koperasi adalah institusi (lembaga) yang tumbuh atas dasar solidaritas tradisional dan kerjasama antar individu, yang pernah berkembang sejak awal sejarah manusia sampai pada awal “Revolusi Industri” di Eropa pada akhir abad 18 dan selama abad 19, sering disebut sebagai Koperasi Historis atau Koperasi Pra-Industri. Koperasi Modern didirikan pada akhir abad 18, terutama sebagai jawaban atas masalah-masalah sosial yang timbul selama tahap awal Revolusi Industri. </p> <p>Koperasi merupakan salah satu lembaga ekonomi yang menurut Drs. Muhammad Hatta (Bapak Koperasi Indonesia) adalah lembaga ekonomi yang paling cocok jika diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat Indonesia yang tinggi kolektifitasannya dan kekeluargaan.Tapi sayangnya lembaga ekonomi ini malah tidak berkembang dengan pesat di negara Republik Indonesia ini. Kapitalisme berkembang dengan pesat dan merusak sendi-sendi kepribadian bangsa tanpa berusaha untuk memperbaikinya. Sehingga jurang kesenjangan sosial semakin lebar dan tak teratasi lagi.</p> <p>Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771–1858), yang menerapkannya pertama kali pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia.<br />Gerakan koperasi ini dikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786–1865) – dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1 Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama The Cooperator, yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi.<br />Koperasi akhirnya berkembang di negara-negara lainnya. Di Jerman, juga berdiri koperasi yang menggunakan prinsip-prinsip yang sama dengan koperasi buatan Inggris. Koperasi-koperasi di Inggris didirikan oleh Charles Foirer, Raffeinsen, dan Schulze Delitch. Di Perancis, Louis Blanc mendirikan koperasi produksi yang mengutamakan kualitas barang. </p> <p>Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir.<br />Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI. </p> <p>Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, mengeluarkan UU no. 431 tahun 19 yang isinya yaitu :<br />- Harus membayar minimal 50 gulden untuk mendirikan koperasi<br />- Sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa<br />- Harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral<br />- Proposal pengajuan harus berbahasa Belanda </p> <p>Hal ini menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Namun setelah para tokoh Indonesia mengajukan protes, Belanda akhirnya mengeluarkan UU no. 91 pada tahun 1927, yang isinya lebih ringan dari UU no. 431 seperti :<br />- Hanya membayar 3 gulden untuk materai<br />- Bisa menggunakan bahasa derah<br />- Hukum dagang sesuai daerah masing-masing<br />- Perizinan bisa di daerah setempat </p> <p> Koperasi menjamur kembali hingga pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.<br />Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat. </p> <p> Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.</p> <p>AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA<br />Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed<br />1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai<br />sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik<br />dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang<br />berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.<br />Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada<br />kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula<br />koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang<br />konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan<br />penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan<br />koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada<br />kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki<br />beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil<br />langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih<br />dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi<br />bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan<br />penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan<br />kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989, h. 1-2).<br />Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih<br />di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam.<br />Untuk memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping<br />banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid<br />yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9). Setelah beliau<br />mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah<br />dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.<br />Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf<br />Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika<br />ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen<br />(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi<br />simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari<br />cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah<br />dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam<br />yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung<br />dan modal untuk itu diambil dari zakat.<br />Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908<br />menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian<br />pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi<br />yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko<br />koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di<br />Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan<br />kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia<br />Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi<br />suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam<br />hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi<br />antara lain :<br />a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;<br />b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;<br />c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;<br />dan di samping itu diperlukan biaya meterai 50 gulden.</p> <p>Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng<br />Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat<br />(SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager<br />adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji<br />Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di<br />mana branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5<br />anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan<br />periode “nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan hukum direncanakan<br />akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.<br />Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan<br />Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan<br />berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat<br />dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di<br />Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada<br />tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H.<br />Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk<br />Bumi Putera untuk berkoperasi.<br />Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi<br />putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang<br />bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ).<br />Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927<br />di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang<br />juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau<br />menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh<br />Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada<br />tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan<br />kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan<br />kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam<br />koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.<br />Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930<br />didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:<br />a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia<br />mengenai seluk beluk perdagangan;<br />b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan<br />pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan<br />penerangannya;<br />c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan<br />pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang<br />menyangkut perusahaan-perusahaan;<br />d. penerangan tentang organisasi perusahaan;<br />e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia<br />( Raka.1981,h.42)<br />DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920<br />ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama. </p> <p>Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian<br />dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad<br />no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.<br />Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan<br />golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu<br />berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun<br />1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan<br />Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur<br />Asing.<br />Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan<br />tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia,<br />terutama di lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah<br />dapat memelopori dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk<br />mendirikan dan mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi dibidang<br />produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang<br />diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.<br />Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun<br />1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat.<br />Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939<br />jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930<br />sebanyak 7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang.<br />Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi<br />(=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam<br />(Djojohadikoesoemo,1940 h.82) sedangkan selebihnya adalah kopersi jenis<br />konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut<br />diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.<br />Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih<br />dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di di<br />Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan<br />kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu<br />tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan Peraturan<br />Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan<br />Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan<br />Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia<br />mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan<br />persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau<br />masyarakat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin<br />Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :<br />a. Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan-aturannya<br />b. Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan<br />diadakan<br />c. Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggota-anggotanya<br />d. Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan<br />itu sekali-kali bukan pergerakan politik.</p> <p>Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah<br />banyak koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh<br />bekerja lagi sebelum mendapat izin baru dari”Scuchokan”. Undang-undang<br />ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari<br />segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).<br />Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang<br />dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran<br />“Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari<br />atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk<br />melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin<br />kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya<br />gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak<br />Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang<br />yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil<br />bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar<br />menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat<br />kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan<br />kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman<br />Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan<br />bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.</p> <p>PERTUMBUHAN KOPERASI SETELAH KEMERDEKAAN<br />Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam<br />suasana sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang<br />menguntungkan bagi pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia<br />memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di<br />dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding<br />Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian<br />di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia<br />mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1<br />beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai<br />usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya<br />disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas<br />kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut<br />diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik<br />Negara dan Badan Usaha Milik Swasta.<br />Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran<br />koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia.<br />Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan<br />perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi<br />Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuantentang<br />koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai<br />tempat.<br />Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa<br />yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain<br />terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat<br />SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta<br />menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus,<br />pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin<br />pesat. Tetapi dengan terjadinya agresi I dan agresi II dari pihak Belanda<br />terhadap Republik Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiunpada tahun<br />1948 banyak merugikan terhadap gerakan koperasi.<br />Pada tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di<br />dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah<br />Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir<br />sama dengan Peraturan Koperasi yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91<br />tahun 1927, dimana ketentuan-ketentuannya sudah kurang sesuai dengan<br />keadaan Inidonesia sehingga tidak memberikan dampak yang berarti bagi<br />perkembangan koperasi.<br />Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun<br />1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk<br />mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di<br />muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program<br />perekonomian antara lain sebagai berikut :<br />“Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi<br />rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian<br />kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan<br />kemampuan keuangan Negara”.<br />Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet<br />Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga<br />bagian, yaitu :<br />a. Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi<br />perkembangan gerakan koperasi;<br />b. Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;<br />c. Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan<br />atas dasar koperasi.<br />Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program<br />Pemerintahannya sebagai berikut :<br />”Untuk kepentingan pembangunan dalam<br />lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan<br />koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang<br />spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa<br />percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah<br />hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperlluas<br />perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada<br />badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang<br />sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi” (Sumodiwirjo 1954, h. 45-<br />46).<br />Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di<br />atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun<br />usahanya.<br />Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953<br />dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung.<br />Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat<br />Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu<br />mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan<br />Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah<br />penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera diterbitkannya<br />Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta sebagai<br />Bapak Koperasi Indonesia.<br />Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan<br />Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan KOngres di samping halhal<br />yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga<br />mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International<br />Cooperative Alliance (ICA).<br />Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan<br />Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar<br />Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang-<br />Undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober<br />1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan<br />peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang<br />yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa Indonesia<br />sendiri dalam suasana kemerdekaan.<br />Perlu dipahami bersama perbedaan sikap Pemerintah terhadap<br />pengembangan perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah<br />pertumbuhannya di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :<br />a. Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap pasif;<br />b. Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang bersikap aktif<br />negatif, karena akibat kebijaksanaannya nama koperasi menjadi<br />hancur (jelek);<br />c. Bersikap aktif positif di mana Pemerintah Republik Indonesia<br />memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan bagi koperasi.<br />Tabel berikut menunjukkan perkembangan koperasi pada saat-saat<br />akhir Pemerintahan Kolonial Belanda dan angka perkembangan koperasi<br />setelah Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1959, dengan catatan<br />angka-angka perkembangan koperasi pada zaman Pemerintahan<br />Pendudukan Balatentara Jepang tidak tersedia.</p> <p>PERKEMBANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN<br />Dalam tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam<br />sejarah bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan<br />tugas menyusun Undang-Undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada<br />tanggal 15 Juli 1959 Presiden Soekarno yang juga selaku PAnglima Tertinggi<br />Angkatan Perang mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan<br />dan salahsatu daripadanya ialah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945<br />berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah<br />Indonesia, terhitung mulai dari tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya<br />lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pada tanggal 17 Agustus 1959<br />Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul<br />“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto<br />politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan<br />program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan<br />Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-garis<br />Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan<br />menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap<br />Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah<br />undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan<br />tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol.<br />Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang<br />No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula<br />Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan<br />Koperasi (dimuat dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907).<br />Peratuarn ini dibuat sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-<br />Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan merupakan<br />penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang<br />tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara<br />missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan<br />sebagai berikut :<br /> (1) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945<br />dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi<br />peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya<br />benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi<br />terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan<br />ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian<br />rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan<br />masyarakat adil dan makmur yang demokratis;<br />(2) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina<br />Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu<br />menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi<br />perkembangan Gerakan Koperasi, dan;<br />(3) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada<br />inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja<br />tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan<br />liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara<br />bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang<br />sebenarnya (Sularso 1988, h. VI-VII).<br />Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah<br />No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk<br />melaksanakannya. Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasikoperasi<br />konsumsi. Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara missal<br />dan seragam tanpa memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang<br />sehat, telah mengakibatkan pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih<br />jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector<br />perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sector Negara dan sector<br />koperasi, dimana sector swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada<br />saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi<br />dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang<br />Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep<br />pengembangan koperasi secara massal dan seragam.<br />Pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah Nasional KOperasi I<br />(Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin<br />dan Ekonomi Terpimpin. Langkah-langkah mempolitikankan (verpolitisering)<br />koperasi mulai nampak. Dewan Koperasi Indonesia diganti dengan Kesatuan<br />Organisasi KOperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang bukan semata-mata<br />organisasi koperasi sendiri malainkan organisasi koperasi-koperasi yang<br />dipimpin oleh Pemerintah, dimasa Menteri Transmigrasi, Koperasi dan<br />Pembangunan Masyarakat Desa (Trasnkopenda) menjadi Ketuanya (Team<br />UGM, 1984, h.143-144).<br />Sebagai puncak pengukuhan hokum dari uapaya mempolitikkan<br />(verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di<br />terbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat<br />didalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang<br />terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi :<br />“Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat<br />perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan<br />progresif revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”.<br />Dalam memori penjelasannya dinyatakan sebagai berikut :<br />“Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi) tidak<br />dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi),<br />sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan<br />tantangan daripada Revolusi itu sendiri”<br />Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi<br />tantangan-tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya<br />persatuan dan kesatuan segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif<br />Revolusioner berporos Nasakom, yang pelaksanaannya diatur dengan<br />kegotong-royongan antara Pemerintah dengan kekuatan-kekuatan Nsakom.<br />Selanjutnya peranan gerakan koperasi dalam demokrasi terpimpin dan<br />ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi<br />sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan :<br />a) Dalam tahap nasional demokrasis :<br />1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen<br />kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan<br />produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;<br />2. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan<br />feodalisme;<br />3. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang<br />posisi memimpin;<br />4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis<br />Indonesia.<br />b) Dalam Tahap sosialisme Indonesia :<br />1. Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh<br />manusia atas manusia;<br />2. Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rokhaniah;<br />3. Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat<br />sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong.”<br />Pasal 7 menyatakan sebagai berikut :<br />1. “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian.<br />2. Dengan Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi<br />dengan Pemerintah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta<br />bukan koperasi”. Memori penjelasannya menyatakan : “Untuk menjamin<br />azas Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin kebijaksanaan<br />perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah”.<br />Bersamaan dengan disyahkannya UU No. 14 tahuhn 1965<br />dilangsungkan Musyawarah Nasional KOperasi (Munaskop) II di Jakarta yang<br />pada dasarnya merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatankekuatan<br />politik di dalam koperasi sebagaimana diatur oleh UU<br />Perkoperasian tersebut. Dalam kesempatan tersebut, juga diputuskan bahwa<br />KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) Menyatakan<br />keluar dari keanggotaan ICA.<br />Tindakan berselang lama yakni dalam bulan September 1965 terjadi<br />pemberontakan Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis<br />Indonesia (PKI) yang terpengaruh besar terhadap pengembangan koperasi.<br />Mengingat dalam UU no. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna<br />politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan<br />G30S/PKI pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera<br />disusul langkah-langkah memurnikan kembali kekoprasi kepada azas-azas<br />yang murni dengan cara “ deverpolitisering “. Koperasi-koperasi<br />menyelenggarakan rapat anggota untuk memperbaharui kepengurusan dan<br />Badan Pemeriksaannya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh<br />untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas koperasi yang sebenarnya<br />(murni).</p> <p>PERKEMBANGAN KOPERASI PADA MASA ORDE BARU<br />Pemberontakan G30S/PKI merupakan malapetaka besar bagi rakyat<br />dan bangsa Indonesia. Demikian pula hal tersebut didalami oleh gerakan<br />koperasi di Indonesia. Oleh karena itu dengan kebulatan tekad rakyat dan<br />bangsa Indonesia untuk kembali dan melaksanakan UUD-1945 dan<br />Pancasila secara murni dan konsekwen, maka gerakan koperasi di Indonesia<br />tidak terkecuali untuk melaksanakannya. Semangat Orde Baru yang dimulai<br />titik awalnya 11 Maret 1996 segera setelah itu pada tanggal 18 Desember<br />1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal<br />dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkopersian.<br />Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah sebagai berikut ;<br />1. Bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian<br />mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak :<br />a. menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung<br />daripada politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai wadah<br />perjuangan ekonomi rakyat.<br />b. menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas dan sendi-sendi<br />dasar koperasi dari kemrniannya.<br />2. a. Bahwa berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-Undang baru yang<br />sesuai dengan semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan<br />dalam Ketepatan-ketepatan MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa<br />untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan kedudukan hokum<br />dan tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan<br />ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan sebagai alat<br />pendemokrasian ekonomi nasional.<br />b. Bahwa koperasi bersama-sama dengan sector ekonomi Negara dan<br />swasta bergerak di segala sektor ekonomi Negara dan swasta<br />bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam<br />rangka memampukan dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan<br />masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Panvcasila yang adil<br />dan makmur di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.<br />3. Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang No. 14 tahun<br />1965 perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang<br />terkandung dalam jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia<br />disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan<br />dan koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan<br />perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan<br />untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban<br />membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ ing<br />ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani “.<br />Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan Undang-<br />Undang Dasar 1954, sesuai pula dengan Ketetapan MPRS No.<br />XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi,<br />Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan Undang-<br />Undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian merupakan suatu<br />keharusan karena baik isi maupun jiwanya Undang-Undang tersebut<br />mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan<br />kerja serta landasan idiil koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan<br />dan perkembangan serta mengaburkan hakekat koperasi sebagai organisasi<br />ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak social.<br />Peranan Pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah<br />perkoperasian Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau<br />pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak<br />serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai dengan<br />jiwa dan makna Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Hal yang demikian itu<br />akan menghambat langkah serta keswakertaan yang sesungguhnya<br />merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri yang pada<br />gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri.<br />Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966<br />dianggap perlu untuk mencabut dan mengganti Undang-Undang No. 14<br />tahun 1965 tentang Perkoprasian tersebut dengan Undang-Undang baru<br />yang benar-benar dapat menempatkan koperasi pada fungsi yang<br />semestinya yakni sebagai alat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33<br />ayat (1)<br />Di bidang idiil, koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah<br />untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan<br />kegotong-royongan yang merupakan cirri khas dari tata kehidupan bangsa<br />Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan<br />yang dianut seseorang. Kiperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi<br />nasional dilaksanakan dalan rangka dalam rangka politik maupun perjuangan<br />bangsa Indonesia.<br />Di bidang organisasi koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak<br />individu serta memegamg teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota<br />merupakan kekuasaan tertinggi di dalam tata kehidupan koperasi,<br />Koperasi mendasarkan geraknya pada aktivitas ekonomi dengan tidak<br />meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan gotong-royong.<br />Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966<br />Pemerintah memberikan bimbingan kepada koperasi dengan sikap seperti<br />tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar koperasi benar-benar<br />mampu melaksanakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 beserta<br />penjelasannya.<br />Menurut pasal. 3 UU No. 12/1967, koperasi Indonesia adalah<br />organisasi ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang<br />atau badan hukum koperasi yang merupakan tata azas kekeluargaan.<br />Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “ koperasi Indonesia adalah<br />kumpulan orang-orang yang sebagai manusia secara bersamaan, bekerja<br />untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan<br />kepentingan masyarakat.<br />Dari pengertian umum di atas, maka ciri-ciri seperti di bawah ini<br />seharusnya selalu nampak:<br />a. Bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan<br />kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam koperasi<br />Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan<br />pengertian koperasi Indonesia berdasarkan perkumpulan orang-orang<br />dan bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa koperasi<br />Indonesia harus benar-benar mengabdikan kepada perikemanusiaan<br />dan bukan kepada kebendaan;<br />b. bahwa koperasi Indonesia bekerjasama, bergotong-royong berdasarkan<br />persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti koperasi adalah dan<br />seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan social. Karena<br />dasar demokrasi ini, milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus<br />diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti<br />bahwa hak tertinggi dalam koperasi terletak pada Rapat Anggota.<br />c. Bahwa segala kegiatan koperasi Indonesia harus didasarkan atas<br />kesadaran para anggota. Dalam koperasi tidak boleh dilakukan<br />paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari pihak-pihak lain<br />yang tidak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal intern koperasi;<br />d. Bahwa tujuan koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan<br />kepentingan bersama dari para anggotanya dan disumbangkan para<br />anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan kecilnya<br />karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian<br />pendapatan dalam koperasi”.<br />Dengan berlakunya UU No. 12/1967 koperasi-koperasi yang telah<br />berdiri harus melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan<br />Anggaran dan mengesahkan Anggaran Dasar yang sesuai dengan Undang-<br />Undang tersebut. Dari 65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang<br />memenuhi syarat sekitar 15.000 buah koperasi saja. Sedangkan selebihnya<br />koperasi-koperasi tersebut harus dibubarkan dengan alasan tidak dapat<br />menyesuaikan terhadap UU No. 12/1967 dikarenakan hal-hal sebagai<br />berikut:<br />a. koperasi tersebut sudah tidak memiliki anggota ataupun pengurus serta<br />Badan Pemeriksa, sedangkan yang masih tersisa adalah papan nama;<br />b. sebagian besar pengurus dan ataupun anggota koperasi yang<br />bersangkutan terlibat G30S/PKI ;<br />c. koperasi yang bersangkutan pada saat berdirinya tidak dilandasi oleh<br />kepentingan-kepentingan ekonomi, tetapi lebih cenderung karena<br />dorongan politik pada waktu itu ;<br />d. koperasi yang bersangkutan didirikan atas dasar fasilitas yang tesedia,<br />selanjutnya setelah tidak tersedia fasilitas maka praktis koperasi telah<br />terhenti.<br />Sejak awal Pelita I pelaksanaan pembangunan telah diarahkan untuk<br />menyentuh segala kehidupan bangsa sebagai suatu gerak perubahan kearah<br />kemajuan. Seperti halnya Negara-negara berkembang yang menderita<br />penjajahan di masa lalu, maka pembangunan yang berlangsung dalam suatu<br />hubungan kemasyarakatan yang terbentuk dalam kemerdekaan, merupakan<br />gerak perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh. Dalam kaitan ini,<br />proses pembangunan yang berlangsung dalam periode transisional dari<br />hubungan saling pengaruh mempengaruti yang berlaku dalam lingkungan<br />masyarakat colonial kea rah susunan dan hubungan kemasyarakatan baru,<br />sungguh merupakan pekerjaan besar yang tidak mudah.<br />Periode pelita I pembangunan perkoperasian menitikbertkan pada<br />investasi pengetahuan dan ketrampilan orang-orang koperasi, baik sebagai<br />orang gerakan koperasi maupun pejabat-pejabat perkoperasian. Untuk<br />memberikan peranan pada koperasi di masa dating sebagai konsekuensi<br />Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1), maka koperasi-koperasi perlu<br />dilandasi lebih dulu dengan jiwa koperasi yang mendalam, perlengjkapan<br />perlengkapan pengetahuan dan ketrampilan di bidang mental, organisasi,<br />usaha dan ketatalaksanaan agar mampu terjun di tengah-tengah arena<br />pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan ini maka Pemerintah<br />membangun Pusat-pusat Pendidikan Koperasi (PUSDIKOP) di tingkat Pusat<br />dan juga di tiap ibukota Propinsi. Pusat Pendidikan Koperasi tersebut<br />sekarang dirubah menjadi Pusat Latihan dan Penataran Perkoperasian<br />(PUSLATPENKOP) di tingkat Pusat dan Balai Latihan Perkoperasian<br />(BALATKOP) di tingkat Daerah.<br />Di samping investasi mental ini telah dimulai pula rintisan investasi fisik<br />dan financial untuk melatih koperasi bergerak di bidang ekonomi. Untuk itu<br />maka di samping pembinaan usaha dan tatalaksana didirikan pula Lembaga<br />Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) di tahun 1970 yang menjamin pinjamanpinjaman<br />koperasi dari bank-bank Pemerintah, secara selektif dan bertahap.<br />Di samping itu LJKK juga berperan untuk ikut dalam partisipasi modal pada<br />proyek kredit investasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam<br />kebijakan tertentu, Pemerintah atas dasar pertimbangannya apabila dinilai<br />bunga atas sesuatu kredit pada koperasi terlalu tinggi, LJKK memberikan<br />subsidi bunga. Sekarang Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) dirubah<br />statusnya menjadi Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi<br />(PERUM PKK).<br />Untuk mengatasi kelemahan organisasi dan memajukan manajemen<br />koperasi maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan koperasikoperasi<br />kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di<br />pedesaan dibagi dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasikoperasi<br />yang yang ada dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan<br />menjadi organisasi yang besar dan dinamakan Badan Usaha Unit Desa<br />(BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa yang bergabung itu<br />dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit<br />Desa). Karena secara ekonomi menjadi besar dan kuat, maka BUUD/KUD itu<br />mampu membiayai tenaga-tenaga yang cakap seperti manajer, juru buku,<br />juru mesin, juru toko dan lain-lain. Juga BUUD/KUD itu dipercayai untuk<br />meminjam uang dari Bank dan membeli barang-barang produksi yang lebih<br />modern, sesuai dengan tuntutan kemajuanzaman (mesin gilingan padi,<br />traktor, pompa air, mesin penyemprot hama dan lain-lain). Ketentuan<br />ketentuan yang mengatur tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan<br />dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi<br />Instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi<br />Presiden No.4/1984.<br />Dalam kenyataannya meskipun arus sumber-sumber daya<br />pembangunan yang dicurahkan untuk mengatasi kemiskinan, khususnya di<br />daerah-daerah pedesaan, belum pernah sebesar seperti dalam era<br />pembangunan selama ini, namun kita sadarai sepenuhnya bahwa gejala<br />kemiskinan dalam bentuk yang lama maupun yang baru masih dirasakan<br />sebagai masalah mendasar dalam pembangunan nasional.<br />Keadaan yang telah berlangsung lama tersebut membuat masyarakat<br />yang tergolong miskin dan lemah ekonominya belum pernah mampu untuk<br />ikut memanfaatkan secara optimal berbagai sumber pendapatan yang<br />sebenarnya tersedia. Pada umumnya masyarakat yang termasuk golongan<br />ini antara lain : kelompok petani, buruh tani, nelayan yang hidup di desa-desa<br />dan kelompok pekerja kasar di kota-kota bahkan meliputi pula kelompok<br />penerima dengan hasil tetap seperti karyawan-karyawan perusahaan serta<br />pegawai-pegawai kecil. Mereka miskin dan lemah karena mereka tidak<br />memiliki modal yang cukup dan ketrampilan serta pendidikan yang layak.<br />Namun demikian, di samping kelemahan yang ada, dapat pula dicatat<br />berbagai potensi yang mereka miliki. Potensi dan kekuatan tersebut antara<br />lain :<br />(1). bahwa ada kemauan dan kemampuan bekerja keras dan keuletan untuk<br />dapat tumbuh dan berkembang;<br />(2). bahwa sebagian besar dari mereka adalah pekerja dalam bidang<br />pertanian yang mempengaruhi dan menentukan kekuatan<br />perkekonomian nasional;<br />(3). bahwa sejumlah besar mereka (70 sampai dengan 80% rakyat<br />Indonesia tinggal di daerah pedesaan); dan<br />(4). bahwa pada dasarnya mereka memiliki potensi social ekonomi yang<br />dapat dikembangkan lebih lanjut melalui pendekatan pembangunan<br />yang bersifat khusus.<br />Sedangkan untuk keberhasilan koperasi di dalam melaksanakan<br />peranannya perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :<br />1. Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang<br />layak oleh, dengan cara :<br />a. bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan<br />kekuatan bersaing dari anggota;<br />b. memperpendek jaringan pemasaran;<br />c. Memiliki manajer yang cukup trampil berpengetahuan luas dan<br />memiliki idealisme;<br />d. Mempunyai dan meningkatkan kemampuan koperasi sebagai satu<br />unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang<br />dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang<br />cermat dan sebagainya.<br />2. Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali<br />modal, dengan cara pemupukan pelbagai sumber keuangan dari<br />sejumlah besar anggota.<br />3. Penggunaan faktor-faktor produksi yang lebih ekonomis melalui<br />pembebanan biaya over head yang lebih, dan mengusahakan<br />peningkatan kapasitas yang pada akhirnya dapat menghasilkan biaya<br />per unit yang relative kecil<br />4. Terciptanya ketrampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan<br />pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh para anggota secara<br />sendiri-sendiri.<br />5. Pembebasan resiko dari anggota-anggota kepada koperasi sebagai satu<br />unit usaha, yang selanjutnya hal tersebut kembali ditanggung secara<br />bersama di antara anggota-anggotanya.<br />6. Pengaruh dari koperasi terhadap anggota-anggotanya yang berkaitan<br />dengan perubahan sikap dan tingkah laku yang lebih sesuai dengan<br />perubahan tuntutan lingkungan di antaranya perubahan teknologi,<br />perubahan pasar dan dinamika masyarakat.<br />Pemerintah di dalam mendorong perkoperasian telah menerbitkan<br />sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan baik yang menyangkut di dalam<br />pengembangan di bidang kelembagaan, di bidang usaha, di bidang<br />pembiayaan dan jaminan kredit koperasi serta kebijaksanaan di dalam<br />rangka penelitian dan pengembangan perkoperasian.<br />Garis-Garis Besar haluan Negara 1988 menetapkan bahwa koperasi<br />dimungkinkan bergerak di berbagai sector kegiatan ekonomi, misalnya<br />sektor-sektor : pertanian, industri, keuangan, perdagangan, angkutan dan<br />sebagainya.<br />Dalam pola umum Pelita ke lima menyebutkan bahwa : “Dunia usaha<br />nasional yang terdiri dari usaha Negara koperasi dan usaha swasta perlu<br />terus dikembangkan menjadi usaha yang sehat dan tangguh dan diarahkan<br />agar mampu meningkatkan kegairahan dan kegiatan ekonomi serta<br />pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, memperluas lapangan kerja,<br />meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat, serta<br />memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan memantapkan ketahanan<br />nasional. Dalam hal ini perlu diperluas kesempatan berusaha serta ditumbuh<br />kembangkan swadaya dan kemampuan berusaha khususnya bagi koperasi,<br />usaha kecil serta usaha informal dan tradisional, baik usaha masyarakat di<br />pedesaan maupun di perkotaan. Selanjutnya perlu disiptakan iklim usaha<br />yang sehat serta tata hubungan yang mendorong tumbuhnya kondisi saling<br />menunjang antara usaha Negara, usaha koperasi dan usaha swasta<br />keterkaitan yang saling menguntungkan dan adil sntara golongan ekonomi<br />kuat dan golongan ekonomi lemah “ (butir 2).<br />Untuk mewujudkan demokrasi ekonomi seperti yang dikehendaki<br />dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 berikut penjelasan, Pola<br />Umum Pelita V juga menyebutkan : “Dalam rangka mewujudkan demokrasi<br />ekonomi, koperasi harus makin dikembangkan dan ditingkatkan<br />kemampuannya serta dibina dan dikelola secara efisien. Dalam rangka<br />meningkatkan peranan koperasi dalam kehidupan ekonomi nasional,<br />koperasi perlu dimasyarakatkan agar dapat tumbuh dan berkembang sebagai<br />gerakan dari masyarakat sendiri. Koperasi di bidang produksi, konsumsi,<br />pemasaran dan jasa perlu terus didorong, serta dikembangkan dan<br />ditingkatkan kemampuannya agar makin mandiri dan mampu menjadi pelaku<br />uatama dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Pembinaan yang tepat atas<br />koperasi dapat tumbuh dan berkembang secara sehat serta hasil-hasil<br />usahanya makin dinikmati oleh para anggotanya, Koperasi Unit Desa (KUD)<br />perlu terus dibina dan dikembangkan agar tumbuh sehat dan kuat sehingga<br />koperasi akan semakin berakar dan peranannya makin besar dalam<br />kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama di pedesaan “ (butir d. 33).<br />Dalam Pelita V kebijakan pembangunan tetap bertumpu pada trilogy<br />pembangunan dengan menekankan pemerataa pembangunan dan hasilhasilnya<br />menuju terciptanya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia,<br />yang disertai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas yang<br />mantap. Ketiga unsure Trilogi Pembangunan tersebut saling mengkait dan<br />saling memperkuat serta perlu dikembangkan secara selaras, serasi dan<br />seimbang.<br />Dalam memperkokoh kerangka landasan untuk tinggal landas dibidang<br />ekonomi, peranan koperasi merupakan aspek yang strategis di samping<br />peran pelaku ekonomi lainnya. Kopperasi harus tumbuh kuat dan mampu<br />menangani seluruh aspek kegiatan dibidang pertanian, industry yang kuat<br />dan dibidang perdagangan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.<br />Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional, dalam Pelita V masih<br />terpusatkan pada sector pertanian, maka prioritas pembinaan koperasi<br />mengikuti pola tersebut dengan memprioritaskan pembinaan 2.000 sampai<br />dengan 4.000 KUD Mandiri tanpa mengabaikan pembinaan-pembinaan<br />terhadap koperasi jenis lain.<br />Adapun tujuan pembinaan dan pengembangan KUD Mandiri adalah<br />untuk mewujudkan KUD yang memiliki kemampuan manajemen koperasi<br />yang rasional dan efektip dalam mengembangkan kegiatan ekonomi para<br />anggotanya berdasarkan atas kebutuhan dan keputusan para anggota KUD.<br />Dengan kemampuan itu KUD diharapkan dapat melaksanakan fungsi<br />utamanya yaitu melayani para anggotanya, seperti melayani perkreditan,<br />penyaluran barang dan pemasaran hasil produksi.<br />Dalam rangka pengembangan KUD mandiri telah diterbitkan<br />INSTRUKSI MENTERI KOPERASI No. 04/Ins/M/VI/1988 tentang Pedoman<br />Pembinaan dan Pengembangan KUD mandiri. Pembinaan dan<br />Pengembangan KUD mandiri diarahkan :<br />1. Menumbuhkan kemampuan perekonomian masyarakat khusunya di<br />pedesaan.<br />2. Meningkatkan peranannya yang lebih besar dalam perekonomian<br />nasional.<br />3. Memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam peningkatan kegiatan<br />ekonomi dan pendapatan yang adil kepada anggotanya.<br />Ukuran-ukuran yang digunakan untk menilai apakah suatu KUD sudah<br />mandiri atau belum adalah sebagai berikut :<br />1. Mempunyai anggota penuh minimal 25 % dari jumlah penduduk dewasa<br />yang memenuhi persyaratan kenggotaan KUD di daerah kerjanya.<br />2. Dalam rangka meningkatkan produktivitas usaha anggotany maka<br />pelayanan kepada anggota minimal 60 % dari volume usaha KUD secara<br />keseluruhan.<br />3. Minimal tiga tahun buku berturut-turut RAT dilaksanan tepat pada<br />waktunya sesuai petunjuk dinas.<br />4. Anggota Pengurus dan Badan Pemeriksa semua berasal dari anggota<br />KUD dengan jumlah maksimal untuk pengurus 5 orang dan Badan<br />Pemeriksa 3 orang.<br />5. Modal sendiri KUD minimal Rp. 25 juta.<br />6. Hasil audit laporan keuangan layak tapa catatan (unqualified opinion).<br />7. Batas toleransi deviasa usaha terhadap rencana usaha KUD (Program<br />dan Non Program) sebesar 20 %.<br />8. Ratio Keuangan :<br />Liquiditas, antara 15 % s/d 200 %.<br />Solvabilita, minimal 100 %.<br />9. Total volume usaha harus proposional dengan jumlah anggota, dengan<br />minimal rata-rata Rp. 250.000,- per anggota per tahun.<br />10. Pendapatan kotor minimal dapat menutup biaya berdasarkan prinsip<br />effisiensi.<br />11. Sarana usaha layak dan dikelola sendiri<br />12. Tidak ada penyelewengan dan manipulasi yang merugikan KUD oleh<br />Pengelola KUD.<br />13. Tidak mempunyai tunggakan.<br />Keberhasilan atau kegagalan koperasi ditentukan oleh keunggulan<br />komparatif koperasi. Hal ini dapat dilihat dalam kemampuan koperasi<br />berkompetisi memberikan pelayanan kepada anggota dan dalam usahanya<br />tetap hidup (survive) dan berkembang dalam melaksnakan usaha.</p> </div>cynthiahttp://www.blogger.com/profile/11233855795492275534noreply@blogger.com0